BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Agresi
Secara sepintas setiap perilaku yang
merugikan ataupun menimbulkan korban pada pihak lain disebut sebagai perilaku
agresi. Dalam Psykologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada
perilaku, yang maksudnya untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau
kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik, perilaku yang
secara tidak sengaja menyebabkan bahaya sakit atau bukan merupakan agresi.
Perusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam defenisi
agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan.
Strickland
(2001) mengemukakan bahwa perilaku agresi adalah setiap
tindakan yang diniatkan untuk melukai, menyebabkan penderitaan, dan merusak
orang lain. Myers (2002) menjelaskan
bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk
menyukai objek yang menjadi sasaran agresi, secara umum agresi adalah tanggapan
yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
2.2 Jenis-jenis
agresi
a. Agresi
karena rasa benci / agresi
emosi (hostile aggression)
Yaitu ungkapan kemarahan yang ditandai dengan emosi yang
tinggi dengan tujuan melampiaskan agresi itu sendiri (agresi jenis panas) dan
akibatnya tidak dipikirkan oleh pelaku dan ia tidak peduli karena hanya
melampiaskan emosi.
b. Agresi
sebagai sarana mencapai tujuan /
instrumental aggression.
Pada
umumnya tidak disertai emosi, bahkan kadang antara pelaku dan korban tidak ada
hubungan pribadi karena agresi merupakan sarana mencapai tujuan.
Meskipun semua
orang memahami apa itu agresi,
namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Ada tiga
perbedaan penting.
1.
Apakah
kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud
melukai disebut juga agresi. Definisi
yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan
pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang
melukai orang lain.
Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang
menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan agresi atau tidak. Sayangnya
definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan suatu tindakan. Jika kita
mengabaikan maksud, seorang pria yang sedang marah bermaksud untuk membunuh
pesaing bisnisnya dengan cara menembak dengan pistol, tetapi ternyata
senjatanya kosong, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan
agresi. Meskipun pada kenyataanya pria itu sedang marah dan mencoba melakukan
pembunuhan, dia tidak bisa dikatakan agresif karena
senjatanya kosong. Sehingga tindakannya tidak berbahaya.
Maksud mempunyai peranan penting dalam penilaian kita tentang
agresi. Karena itu, kita
mendefinisikan agresi sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang
lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan, karena tidak semata-mata tergantung pada
perilaku yang nampak. Sering kali sulit untuk mengetahui maksud seseorang.
Tetapi kita akan menerima batasan agresi dengan
penuh arti jika kita memperhatikan maksud.
2.
Antara
agresi antisosial
dan prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk.
Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang
adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik. Kita menghargai
polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi masalah apakah
tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu telah disepakati.
Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan pemukulan jelas melanggar
norma sosial disebut antisosial. Sedangkan tindakan prososial adalah yang
sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang diterapkan orangtua atau kepatuhan
terhadap komandan perang dianggap penting.
Beberapa tindakan agresif berada di antara agresi
prososial dan agresi antisosial adalah agresi yang
disetujui (sanctioned aggression). Ini adalah agresi yang antisosial tetapi masih disetujui
oleh masyarakat. Contoh, seorang wanita yang melawan ketika diperkosa atau
seorang pemilik toko yang memukul orang yang menyerangnya.
3.
Antara
perilaku agresi dan perasaan
agresi. Misalnya, seperti rasa
marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan perasaan internal
kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan
usaha untuk melukai orang lain.
Masyarakat tidak menyetujui sebagian
besar bentuk perilaku agresif dan memang hal ini hanya bisa terjadi bila orang
senantiasa mengendalikan perasaan agresifnya. Kita tidak dapat membiarkan
seseorang memukul orang lain, merusak pintu, atau bertindak kasar. Masyarakat sangat
mengekang perilaku seperti ini, sehingga sebagian besar orang, termasuk yang
selalu marasa marah, jarang bertindak agresif.
Perilaku agresi bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif,
langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah antara menyakiti secara fisik dan menyerang
dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat
dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresi langsung berarti melakukan
kontak langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresi tidak
langsung dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.
Bentuk Agresi
|
Contoh
|
Fisik, aktif, langsung
|
Menikam, memukul, atau menembak orang lain
|
Fisik, aktif, tak langsung
|
Membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang
pembunuh untuk membunuh
|
Fisik, pasif, langsung
|
Secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan atau
tindakan yang diinginkan (seperti aksi
duduk dalam demonstrasi)
|
Fisik, pasif, tak langsung
|
Menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya
|
Verbal, aktif, langsung
|
Menghina orang lain
|
Verbal, aktif, tak langsung
|
Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang orang lain
|
Verbal, pasif, langsung
|
Menolak berbicara kepada orang lain, menolak menjawab
pertanyaan, dll
|
Verbal, pasif, tak langsung
|
Tidak mau membuat komentar verbal (misal:menolak berbicara
ke orang yang menyerang dirinya bila
dia dikritik secara tidak fair)
|
2.3 Dampak Agresi
Dampak dari
agresi akan menyebabkan seseorang menjadi depresi atau mengalami pasca trauma,
semua tergantung dari masalah yang dihadapi oleh seseorang tersebut. Agresi
itupun dapat berlanjut dari generasi ke generasi. Misalnya seperti seorang ibu
yang agresif cenderung mempunyai anak yang agresif juga.
Dua unsur yang
tampaknya berpengaruh besar dalam pendidikan moral dan disiplin ini adalah unsur
agama dan demokrasi. Dikalangan masyarakat barat yang menganut agama yang kuat,
penentuan norma dan nilai social (baik-buruk, wajib-dilarang) itu kurang
mempunyai landasan yang kuat.
Anak-anak tidak
bias ditakut-takuti oleh hukuman Tuhan jika melanggar aturan atau berbuat
sesuatu yang tidak baik. Mereka hanya takut akan ancaman dari orangtua / guru,
mereka merasa bebas dari ancaman itu dan berani berbuat yang kurang baik,
dengan harapan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut tidak akan diketahui oleh
orangtua / guru.
2.4 Faktor-Faktor
Penyebab Agresi
Banyak teori agresi yang mengatakan sebab utama yang
menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah frustrasi (Hanurawan,2005).
Dijelaskan di sini, perilaku agresif muncul karena terhalangnya seseorang dalam
mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Watson, Kulik dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi,1998)
lebih jauh menyatakan bahwa frustrasi yang muncul disebabkan adanya faktor dari
luar yang begitu kuat menekan sehingga muncul perilaku agresi. Bandura (dalam
Baron dan Byrne. 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari
proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial.
Media, baik cetak maupun elektronika tidak kalah penting
dalam mendukung terbentuknya perilaku Agresi. Media yang menyuguhkan adegan
kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya. Tayangan ini akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan inidvidu yang melihatnya, terlebih
mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan seperti itu.
Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka
ragam sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan
hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof,1991). Dengan
menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model yang
melakukan kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku
seseorang membuat orang lain marah dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang
tinggi, maka hal itu merupakan bibit munculnya tidak hanya perilaku agresi pada dirinya namun juga
perilaku agresi orang lain.
Ada penularan perilaku (Fisher dalam Sarlito,1992) yang
disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan perilaku agresi melalui
televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti
pembunuhan, tawuran masal, dan penganiayaan. Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi dalam
http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.html menyebutkan beberapa faktor
penyebab perilaku agresi, sebagai berikut:
1. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas
sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya
disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin
nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu
pengantar 1991). Pada saat marah ada 3perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.
Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi
adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau
ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan
dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota
seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja
biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan,
kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang
dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang
semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini
semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga
ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan
amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa
saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan
mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan
terlibat dalam perkelahian.
2. Faktor Biologis
Ada beberapa
faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
a. Gen tampaknya
berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai
yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan
jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan
betinanya.
b. Sistem otak yang
tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural
yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau
ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan
kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara
kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang
berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang
tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk
melakukan kekejaman 4dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan
yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera
otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c. Kimia darah. Kimia
darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga
dapat mempengaruhi perilaku agresi.
Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan
beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan
ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan
lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut.
Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong
alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang
mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron
menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka
mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita
yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat
berlangsungnya siklus haid ini.
3. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan
atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat
terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali
tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah
satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan generation gap
ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak
permasalahan lain yang dapat muncul seperti
masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas,
dll.
4. Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila seorang anak
dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara
alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat
kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di
perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi
pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih
berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di
serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci
maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi
uang, 5terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup
besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah
diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah
biasa saja.
Bila terjadi
perkelahian dipemukiman kumuh, misalnya
ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli
minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi
secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model
pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang
dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar
yang belum berkembang optimal, anak-anak
seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul,
berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam
kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.
Hal yang sangat
menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi &
moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal
ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan
mengatasinya lebih kompleks.
b. Anonimitas
Kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam
informasi yang besarnya sangat luar
biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan
melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau
mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia
cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat
dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
c. Suhu udara yang panas
Bila diperhatikan
dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang
hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa
tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada
6bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan
panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan
yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan
agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam
musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di
Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992
5. Peran Belajar Model Kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan
remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga
"games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan
adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan
di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu
ada pula acara-acara TV yang menyajikan
acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack
Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka
saksikan namun diyakini bahwa tontonan
tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan
bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan
untuk meniru model kekerasan tersebut.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan
setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini tentu membuat penonton akan
semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan
dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan
kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini
menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991)
dikemukakan bahwa anakanak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih
cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak
lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam
kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model
juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila
seorang yang sering menyaksikkan tawuran di jalan, mereka secara langsung
menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam
kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa
perkelahian antar orang tua dilingkungan
rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu
dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk
mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli
mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis
lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku
agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur
kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang,
model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine
(alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan
kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa
kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama
efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak
menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang
mengasikkan.
6. Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal
dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan
tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja
miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan
banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang
harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi
mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak
contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi
penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat
membuat surat ijin palsu. Hal ini
menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan
cara menembaki guru-gurunya.
Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini
memberi sumbangan yang cukup berarti
pada terjadinya peristiwa 8tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak
sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara
nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek
yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh
karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya)
oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk
kebutuhan dirinya.
7. Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras
terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai
pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan,
1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang
penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman,
kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan
kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan
sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa
dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk.
Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila
larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternative. Cara
lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar
main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena
kesibukan mereka).
2.5 Teori-Teori Agresi
1. Teori Frustrasi – Agresi
`Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi
(frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk
mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang
pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang
atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998).
Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi
merupakan kondisi yang cukup universal,agresi tetap merupakan dorongan yang
harus disalurkan.
2. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari
luar. Bandura (dalam Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-
hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga,
dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang
diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi
positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas
Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition).
Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok
(dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi
perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna.
Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi
akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam
Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan
dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
2.6
Mengurangi Agresi
Agresi bukanlah suatu
bentuk perilaku yang tidak dapat dihindari atau tidak dapat diubah. Sebaliknya
karena agresi berasal dari interaksi komplek berbagai peristiwa eksternal, kognitif
dan karakteristik pribadi, hal itu dapat dicegah atau dikurangi. Berikut ini
ada beberapa prosedur yang ketika digunakan secara tepat, Dapat efektif dalam
mengurangi frekuensi atau intensitas agresi manusia.
a. Hukum
Hukuman (punishment)
yaitu pemberian konsekuensi yang menyakitkan untuk mengurangi perilaku
tertentu. Dalam hal ini yaitu sebagai suatu teknik untuk mengurangi agresi.
Kondisi-kondisi apa
yang harus dipenuhi sehingga hukuman dapat berhasil, Ada empat hal yang harus
diperhatikan :
1. Harus segera mengikuti tindakan agresif
secepat mungkin.
2. Harus pasti-probabilitas bahwa hukuman akan
menyertai agresi haruslah sangat tinggi.
3. Harus cukup kuat untuk dirasa sangat tidak
menyenangkan bagi penerimanya.
4. Harus dipersepsikan oleh penerimanya sabagai
justifikasi atau layak diterima.
b. Katarsis
Hipotesis katarsis
(chatarsis hypothesis) adalah pandangan bahwa jika individu mengekspresikan
kemarahan dan hostility mereka dalam cara yang relatif tidak berbahaya,
tendensi mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang lebih berbahaya akan
berkurang. Apakah hal ini memang benar? Berlawanan dengan helief umum, bukti-bukti yang ada menunjukan gambaran yang campur
aduk.
c. Intevensi kognitif: permintaan maaf dan mengatasi defisit
kognitif.
Pengakuan
kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun / maaf sesungguhnya
seringkali sangat bernanfaat untuk megurangi agresi. Sama halnya, alasan-alasan
yang baik (good excuses) yang menunjuk pada factor-faktor di luar control
pemberi alasan juga dapat efektif mengurangi marah dan agresi terbuka dari
orang-orang yang telah diprovokasikan dalam kadar tertentu. Jadi jika anda
merasa bahwa anda membuat orang lain marah, segeralah minta maaf. Masalah yang
dapat anda hindari membuat ucapan “saya menyesal” menjadi berharga.
Ketika emosi sedang
terangsang bisa jadi kita mengadopsi cara berfikir dimana kita memproses
informasi dengan cepat dan gegabah. Hal ini kemudian, dapat meningkatkan
kemungkinan bahwa kita akan “kehilangan kendali pada”orang lain, termasuk juga
orang lain yang bukan merupakan penyebab kemarahan kita.
d. Pemaparan terhadap model nonagresif: Pertahanan yang menular.
Jika pemaparan terhadap
tindakan agresif yang dilakukan orang lain di media atau secara langsung dapat
meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku
nonagresif menghasilkan dampak yang sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa
penelitian, menunjukkan bahwa hal ini
memang benar. Ketika individu-individu yang telah diprovokasi dipelihatkan pada
gambaran orang lain yang sedang mendemontrasikan atau mengusahakan pertahanan
diri, tendensi untuk terjadinya agresi berkurang. Temuan-temuan ini menunjukkan
bahwa mungkin saja ada gunanya untuk menempatkan model nonagresif yang berusaha
menahan diri dalam berbagai situasi tegang yang berpotensi untuk menjadi
bahaya. Keberadaaan model nonagresi dapat berfungsi sebagai penyeimbang
kekerasan terbuka yang terjadi.
e. Pelatihan dalam keterampilan sosial: belajar memiliki
hubungan baik dengan orang lain.
Salah datu alas an
mengapa banyak orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah karena mereka
tidak memiliki keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui bagaimana
merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain
alih-alih menganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya membuat
permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa
membuat orang lain tersebut marah. Orang –orang yang tidak memiliki
keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang
cukup tinggi di banyak masyarakat. Jadi,
membekal orang-orang ini dengan keterampilan sosial yang lebig baik dapat
sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi.
f. Respons yang tidak tepat: Sulit Untuk Tetap Marah Jika Anda
Tersenyum.
Bayangkan anda berada
dalam situasi dimana anda merasa diri anda marah kemudian seseorang
menceritakan sebuah lelucon yang membuat anda tertawa. Apakah anda akan tetap
marah? Mungkin tidak. Kemungkinan besar bahwa ketika anda tertawa, anda akan
merasa kemarahan anda berkurang. Mengapa? Karena tertawa dan afek positif yang
dibawanya tidak sesuai dengan perasaan marah dan tindakan agresi. Hal ini
merupakan dasar dari pendekatan lain untuk mengurangi agresi, yang dikenal
sebagai teknik respons yang tidak tepat (incompatible response techniques).
Teknik menyatakan nahwa agresi akan berkurang jiak imdividu dipaparkan pada
kejadian atau stimulus yang menyebabkan mereka mengalami keadaan yang afeksi
yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar