Selasa, 07 Februari 2012

Agresi


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Agresi
Secara sepintas setiap perilaku yang merugikan ataupun menimbulkan korban pada pihak lain disebut sebagai perilaku agresi. Dalam Psykologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku, yang maksudnya untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik, perilaku yang secara tidak sengaja menyebabkan bahaya sakit atau bukan merupakan agresi. Perusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam defenisi agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan.
Strickland (2001) mengemukakan bahwa perilaku agresi adalah setiap tindakan yang diniatkan untuk melukai, menyebabkan penderitaan, dan merusak orang lain. Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk menyukai objek yang menjadi sasaran agresi, secara umum agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.

2.2  Jenis-jenis agresi
a.     Agresi karena rasa benci / agresi emosi (hostile aggression)
       Yaitu ungkapan kemarahan yang ditandai dengan emosi yang tinggi dengan tujuan melampiaskan agresi itu sendiri (agresi jenis panas) dan akibatnya tidak dipikirkan oleh pelaku dan ia tidak peduli karena hanya melampiaskan emosi.
  
b.    Agresi sebagai sarana mencapai tujuan / instrumental aggression.
Pada umumnya tidak disertai emosi, bahkan kadang antara pelaku dan korban tidak ada hubungan pribadi karena agresi merupakan sarana mencapai tujuan.          
Meskipun semua orang memahami apa itu agresi, namun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya. Ada tiga perbedaan penting.
1.      Apakah kita mendefinisikan agresi sebagai perilaku melukai, ataukah mempunyai maksud melukai disebut juga agresi. Definisi yang paling sederhana dan yang paling disukai oleh orang yang menggunakan pendekatan behaviorisme, adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain.
Keuntungan definisi ini adalah bahwa perilaku itu yang menentukan apakah suatu tindakan bisa dikatakan agresi atau tidak. Sayangnya definisi ini mengabaikan maksud orang yang melakukan suatu tindakan. Jika kita mengabaikan maksud, seorang pria yang sedang marah bermaksud untuk membunuh pesaing bisnisnya dengan cara menembak dengan pistol, tetapi ternyata senjatanya kosong, maka tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan agresi. Meskipun pada kenyataanya pria itu sedang marah dan mencoba melakukan pembunuhan, dia tidak bisa dikatakan agresif karena senjatanya kosong. Sehingga tindakannya tidak berbahaya.
Maksud mempunyai peranan penting dalam penilaian kita tentang agresi. Karena itu, kita mendefinisikan agresi sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Konsep ini lebih sulit diterapkan, karena tidak semata-mata tergantung pada perilaku yang nampak. Sering kali sulit untuk mengetahui maksud seseorang. Tetapi kita akan menerima batasan agresi dengan penuh arti jika kita memperhatikan maksud.

2.      Antara agresi antisosial dan prososial. Biasanya kita menganggap agresi sebagai sesuatu yang buruk. Memang, tindakan agresif yang timbul dengan maksud untuk melukai seseorang adalah hal yang buruk. Tetapi ada perilaku agresi yang baik. Kita menghargai polisi yang telah menembak seorang teroris. Yang menjadi masalah apakah tindakan agresif melanggar atau mendukung norma sosial itu telah disepakati. Tindakan kriminal seperti membunuh, kekerasan dan pemukulan jelas melanggar norma sosial disebut antisosial. Sedangkan tindakan prososial adalah yang sesuai dengan hukum, seperti disiplin yang diterapkan orangtua atau kepatuhan terhadap komandan perang dianggap penting.
Beberapa tindakan agresif berada di antara agresi prososial dan agresi antisosial adalah agresi yang disetujui (sanctioned aggression). Ini adalah agresi yang antisosial tetapi masih disetujui oleh masyarakat. Contoh, seorang wanita yang melawan ketika diperkosa atau seorang pemilik toko yang memukul orang yang menyerangnya.
3.      Antara perilaku agresi dan perasaan agresi. Misalnya, seperti rasa marah. Perilaku kita yang nampak belum berarti mencerminkan perasaan internal kita. Bisa saja, seseorang yang merasa sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain.
       Masyarakat tidak menyetujui sebagian besar bentuk perilaku agresif dan memang hal ini hanya bisa terjadi bila orang senantiasa mengendalikan perasaan agresifnya. Kita tidak dapat membiarkan seseorang memukul orang lain, merusak pintu, atau bertindak kasar. Masyarakat sangat mengekang perilaku seperti ini, sehingga sebagian besar orang, termasuk yang selalu marasa marah, jarang bertindak agresif.
       Perilaku agresi bisa berupa verbal dan fisik, aktif dan pasif, langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah  antara menyakiti secara fisik dan menyerang dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresi langsung berarti melakukan kontak langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresi tidak langsung dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.

Bentuk Agresi
Contoh
Fisik, aktif, langsung
Menikam, memukul, atau menembak orang lain
Fisik, aktif, tak langsung
Membuat perangkap untuk orang lain, menyewa seorang pembunuh  untuk membunuh
Fisik, pasif, langsung
Secara fisik mencegah orang lain memperoleh tujuan atau tindakan  yang diinginkan (seperti aksi duduk dalam demonstrasi)
Fisik, pasif, tak langsung
Menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya
Verbal, aktif, langsung
Menghina orang lain
Verbal, aktif, tak langsung
Menyebarkan gossip atau rumor jahat tentang orang lain
Verbal, pasif, langsung
Menolak berbicara kepada orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll
Verbal, pasif, tak langsung
Tidak mau membuat komentar verbal (misal:menolak berbicara ke  orang yang menyerang dirinya bila dia dikritik secara tidak fair)
  
2.3  Dampak Agresi
       Dampak dari agresi akan menyebabkan seseorang menjadi depresi atau mengalami pasca trauma, semua tergantung dari masalah yang dihadapi oleh seseorang tersebut. Agresi itupun dapat berlanjut dari generasi ke generasi. Misalnya seperti seorang ibu yang agresif cenderung mempunyai anak yang agresif juga.
       Dua unsur yang tampaknya berpengaruh besar dalam pendidikan moral dan disiplin ini adalah unsur agama dan demokrasi. Dikalangan masyarakat barat yang menganut agama yang kuat, penentuan norma dan nilai social (baik-buruk, wajib-dilarang) itu kurang mempunyai landasan yang kuat.
       Anak-anak tidak bias ditakut-takuti oleh hukuman Tuhan jika melanggar aturan atau berbuat sesuatu yang tidak baik. Mereka hanya takut akan ancaman dari orangtua / guru, mereka merasa bebas dari ancaman itu dan berani berbuat yang kurang baik, dengan harapan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut tidak akan diketahui oleh orangtua / guru.

2.4  Faktor-Faktor Penyebab Agresi
Banyak teori agresi yang mengatakan sebab utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah frustrasi (Hanurawan,2005). Dijelaskan di sini, perilaku agresif muncul karena terhalangnya seseorang dalam mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Watson, Kulik dan Brown (dalam Soedardjo dan Helmi,1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustrasi yang muncul disebabkan adanya faktor dari luar yang begitu kuat menekan sehingga muncul perilaku agresi. Bandura (dalam Baron dan Byrne. 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial.

Media, baik cetak maupun elektronika tidak kalah penting dalam mendukung terbentuknya perilaku Agresi. Media yang menyuguhkan adegan kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya. Tayangan ini akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan inidvidu yang melihatnya, terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan seperti itu.
Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof,1991). Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model yang melakukan kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku seseorang membuat orang lain marah dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang tinggi, maka hal itu merupakan bibit munculnya tidak hanya  perilaku agresi pada dirinya namun juga perilaku agresi orang lain.
Ada penularan perilaku (Fisher dalam Sarlito,1992) yang disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti pembunuhan, tawuran masal, dan penganiayaan. Zainun Mu'tadin, SPsi., MSi dalam http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.html menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku agresi, sebagai berikut:
1.    Amarah 
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak  suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin  nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada 3perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. 
Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang  akan mengarah pada agresi. Anak-anak di kota seringkali saling mengejek pada saat bermain, begitu juga dengan remaja biasanya mereka mulai saling mengejek dengan ringan sebagai bahan tertawaan, kemudian yang diejek ikut membalas ejekan tersebut, lama kelamaan ejekan yang dilakukan semakin panjang dan terus-menerus dengan intensitas ketegangan yang semakin tinggi bahkan seringkali disertai kata-kata kotor dan cabul. Ejekan ini semakin lama-semakin seru karena rekan-rekan yang menjadi penonton juga ikut-ikutan memanasi situasi. Pada akhirnya bila salah satu tidak dapat menahan amarahnya maka ia mulai berupaya menyerang lawannya. Dia berusaha meraih apa saja untuk melukai lawannya. Dengan demikian berarti isyarat tindak kekerasan mulai terjadi. Bahkan pada akhirnya penontonpun tidak jarang ikut-ikutan terlibat dalam perkelahian.  
2.    Faktor Biologis
      Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991):
a. Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman 4dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk  menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku  agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini. 
3.    Kesenjangan Generasi
      Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti  masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
4.    Lingkungan
a.    Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, 5terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja.
Bila terjadi perkelahian dipemukiman kumuh,  misalnya ada pemabuk yang memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli minuman, maka pada saat itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi secara langsung. Model agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang  belum berkembang optimal, anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya. 
  
Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis ekonomi & moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan kesulitan mengatasinya lebih kompleks. 
b.    Anonimitas
      Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang  besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang  lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain. 
c.    Suhu udara yang panas
      Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada 6bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
       Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et  al, dalam Sarlito, Psikologi Lingkungan,1992 
5.    Peran Belajar Model Kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada  pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan  tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan  rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anakanak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap.
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksikkan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian  antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan. 
6.    Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat  surat ijin palsu. Hal ini menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan cara menembaki guru-gurunya.
Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di  Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti  pada terjadinya peristiwa 8tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya. 
7.    Proses Pendisiplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternative. Cara lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka).

2.5 Teori-Teori Agresi 
1.    Teori Frustrasi – Agresi
       `Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal,agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2.    Teori Belajar Sosial
       Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. 
3.    Teori Kualitas Lingkungan
       Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.

2.6    Mengurangi Agresi
Agresi bukanlah suatu bentuk perilaku yang tidak dapat dihindari atau tidak dapat diubah. Sebaliknya karena agresi berasal dari interaksi komplek berbagai peristiwa eksternal, kognitif dan karakteristik pribadi, hal itu dapat dicegah atau dikurangi. Berikut ini ada beberapa prosedur yang ketika digunakan secara tepat, Dapat efektif dalam mengurangi frekuensi atau intensitas agresi manusia.
a.       Hukum
Hukuman (punishment) yaitu pemberian konsekuensi yang menyakitkan untuk mengurangi perilaku tertentu. Dalam hal ini yaitu sebagai suatu teknik untuk mengurangi agresi.
Kondisi-kondisi apa yang harus dipenuhi sehingga hukuman dapat berhasil, Ada empat hal yang harus diperhatikan :
1.  Harus segera mengikuti tindakan agresif secepat mungkin.
2.  Harus pasti-probabilitas bahwa hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat tinggi.
3.  Harus cukup kuat untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi penerimanya.
4.  Harus dipersepsikan oleh penerimanya sabagai justifikasi atau layak diterima.

b.    Katarsis
Hipotesis katarsis (chatarsis hypothesis) adalah pandangan bahwa jika individu mengekspresikan kemarahan dan hostility mereka dalam cara yang relatif tidak berbahaya, tendensi mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang lebih berbahaya akan berkurang. Apakah hal ini memang benar? Berlawanan dengan helief umum, bukti-bukti yang ada menunjukan gambaran yang campur aduk.
c.    Intevensi kognitif: permintaan maaf dan mengatasi defisit kognitif.
Pengakuan kesalahan-kesalahan yang meliputi permintaan ampun / maaf sesungguhnya seringkali sangat bernanfaat untuk megurangi agresi. Sama halnya, alasan-alasan yang baik (good excuses) yang menunjuk pada factor-faktor di luar control pemberi alasan juga dapat efektif mengurangi marah dan agresi terbuka dari orang-orang yang telah diprovokasikan dalam kadar tertentu. Jadi jika anda merasa bahwa anda membuat orang lain marah, segeralah minta maaf. Masalah yang dapat anda hindari membuat ucapan “saya menyesal” menjadi berharga.
Ketika emosi sedang terangsang bisa jadi kita mengadopsi cara berfikir dimana kita memproses informasi dengan cepat dan gegabah. Hal ini kemudian, dapat meningkatkan kemungkinan bahwa kita akan “kehilangan kendali pada”orang lain, termasuk juga orang lain yang bukan merupakan penyebab kemarahan kita.
d.   Pemaparan terhadap model nonagresif: Pertahanan yang menular.
Jika pemaparan terhadap tindakan agresif yang dilakukan orang lain di media atau secara langsung dapat meningkatkan agresi, tampaklah memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku nonagresif menghasilkan dampak yang sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian,  menunjukkan bahwa hal ini memang benar. Ketika individu-individu yang telah diprovokasi dipelihatkan pada gambaran orang lain yang sedang mendemontrasikan atau mengusahakan pertahanan diri, tendensi untuk terjadinya agresi berkurang. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa mungkin saja ada gunanya untuk menempatkan model nonagresif yang berusaha menahan diri dalam berbagai situasi tegang yang berpotensi untuk menjadi bahaya. Keberadaaan model nonagresi dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekerasan terbuka yang terjadi.
e.    Pelatihan dalam keterampilan sosial: belajar memiliki hubungan baik dengan orang lain.
Salah datu alas an mengapa banyak orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah karena mereka tidak memiliki keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan menenangkan orang lain alih-alih menganggu mereka. Mereka tidak tahu bagaimana caranya membuat permintaan atau bagaimana caranya untuk menolak permintaan orang lain tanpa membuat orang lain tersebut marah. Orang –orang yang tidak memiliki keterampilan sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proporsi yang cukup tinggi di banyak masyarakat.  Jadi, membekal orang-orang ini dengan keterampilan sosial yang lebig baik dapat sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi.
f.     Respons yang tidak tepat: Sulit Untuk Tetap Marah Jika Anda Tersenyum.
Bayangkan anda berada dalam situasi dimana anda merasa diri anda marah kemudian seseorang menceritakan sebuah lelucon yang membuat anda tertawa. Apakah anda akan tetap marah? Mungkin tidak. Kemungkinan besar bahwa ketika anda tertawa, anda akan merasa kemarahan anda berkurang. Mengapa? Karena tertawa dan afek positif yang dibawanya tidak sesuai dengan perasaan marah dan tindakan agresi. Hal ini merupakan dasar dari pendekatan lain untuk mengurangi agresi, yang dikenal sebagai teknik respons yang tidak tepat (incompatible response techniques). Teknik menyatakan nahwa agresi akan berkurang jiak imdividu dipaparkan pada kejadian atau stimulus yang menyebabkan mereka mengalami keadaan yang afeksi yang tidak tepat dengan kemarahan atau agresi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar